Sahabat, Canggung dan Syuting

Hari ini menulis lagi. Haha... setelah beberapa kejadian hidup yang rasanya bikin kecekek, sekarang sudah mulai tenang. Badai sudah berlalu kah? Iya... Di beberapa keadaan mungkin sudah, tapi tidak di keadaan lain. Semoga saja yang itu menyusul berlalunya, soalnya kalau lama-lama bosan juga gue. Ya ampun... ini masalah nggak kelar-kelar juga.

Beberapa hari belakangan ini memang lagi hectic banget sama yang namanya ngerjain tugas. Setiap hari pikirannya nggak akan jauh-jauh dari tugas video ini, tugas video itu, tugas buat beli ini, tugas buat beli itu. Pengen deh rasanya membelah diri kayak amoeba atau paling nggak punya robot copy kayak P-Man. Asik juga kali ya kalau bisa kayak gitu? Bayangin aja deh kalau kita punya dua tubuh yang masing-masingnya bisa disuruh untuk mengerjakan dua hal yang berbeda terus pikirannya bisa disatukan cuma dengan menempelkan jidat satu sama lain. Keren banget... Kalau seandainya gue bisa punya copy-an, hal yang pertama yang akan gue perintahkan ke dia adalah menggantikan gue selama satu bulan penuh dan gue akan pulang kampung. Tapi apa daya semua hanya khayalan. Hahaha... Cuma ya ribet juga kali kalau robot copy nya gampang berubah jadi boneka. Kalau tiba-tiba idungnya kejeduk pintu bikun atau misalnya kena timpuk buku MPS? Bisa berabe. Kkkkk~

Gue juga sedang mencoba untuk berkonsentrasi untuk membangun struktur cerita buat novel gue. Tapi ya Tuhan... susah banget deh bisa bikin novel kayak Ilana Tan. Fokus, nggak kemana-mana, simple, tapi mengena. Susah juga kalau nggak diberi waktu khusus untuk itu. Soalnya pikiran gue masih banyak cabangnya.

Dan hari ini gue akhirnya jadi syuting buat ikutan lomba TVC ulang tahun Trans TV yang ke sembilan. Sebenarnya syuting seharusnya dilakukan hari Kamis kemarin, hanya saja (buset bahasa gue) Kamis kemaren ada temen gue yang disitu bertindak sebagai pemilik sekolah dasar (hahaha) dan handycam berhalangan, jadinya ya Sabtu itu. Jadi gue dan tiga orang temen gue yang lain berniat banget buat ikutan lomba TVC berdurasi 30 detik ini. Iseng-iseng sih, cuma kalau kompetisi video, kok kayaknya menarik banget ya buat kita? Dan akhirnya dengan personil yang kurang satu, gue dan Necha (http://nechaharza.blogspot.com) berangkat dari Kober menuju ke Tanjung Barat, dimana Abim tinggal. Perjalanan sih biasa aja, cuma seperti biasa, kampungan gue keluar kalau udah naik angkot dan belum sarapan: mual dan mau muntah.

Kita sampai di rumah Abim kira-kira setengah jam setelah perjalanan dari Depok dan disana cuma duduk sebentar terus langsung cabut ke SD-nya si Abim dulu. Pas masuk ke lingkungan sekolah, entah kenapa gue ngerasa kangen banget sama masa-masa SD. Apalagi kalau ngeliat anak-anak pake seragam pramuka gitu. Gila... itu udah sekitar delapan tahun yang lalu dan sekarang gue udah nggak berseragam lagi. Bener-bener berkesan juga sih SD karena pada saat itu setidaknya gue nggak disibukkan dengan masalah-masalah mengerikan ini.

Dalam proyek kali ini, gue bertindak sebagai sutradara dan juga kameraman. Hmmm... oke, dan seperti biasa, gue suka nggak percaya diri kalau udah mulai syuting. Rasanya kok kayak dibayangi oleh sesuatu yang lebih bagus dari gue ya? Hahaha... tentu aja, soalnya disitu ada Abim yang memang udah pengalaman banget jadi sutradara film-film pendek dan menurut gue kalau dia jadi sutradara hasilnya selalu bagus. Begitu juga Necha, dia selalu punya ide-ide yang menyempurnakan ide gue. Entah bawaan lahir atau gimana, gue jadi sangat canggung untuk memulai syuting tadi. Ditambah lagi dengan anak-anak SD yang semuanya pada ngeliatin. Hahahaha...

Beberapa guru yang adalah guru Abim waktu SD tanya-tanya soal syuting hari itu dan kebanyakan dari mereka mengomentari tinggi badan Abim yang (menurut gue) sangat sombong. Bayangin aja, tinggi gue sama Necha nggak jauh beda sama tinggi anak-anak SD disana dan kalau dibandingkan dengan tinggi badan Abim, gue cuma sampe bahunya doang -_____-" benar-benar menyedihkan. Dan guru-guru terlihat sangat bangga dengan pertumbuhan Abim yang sangat sukses. Benar-benar orang tuanya memberikan gizi yang layak.

Gue memulai syuting dengan mengambil establish sekolah seperti yang sudah ada di storyboard sederhana yang gue buat. Dan itu berjalan sukses dengan sekali take. Selanjutnya adalah establish luar kelas yang ternyata memberikan derita hari ini.

Jadi kan gue nggak tahu tuh kalau ternyata di tempat itu ada dua sekolah yang berbeda. Gue lupa nama sekolahnya apa tapi gue bener-bener nggak tahu dan nggak pernah kebayang kalau ada dua sekolah yang berbada di satu tempat dan lokasi. Gue berniat untuk mengambil gambar dinding sekolah dan bergerak ke arah pintu. Nah kebetulan di sana ada taman-taman yang banyak pohon bonsainya, gue berniat menjadikan itu sebagai foreground. Akhirnya gue masuklah ke parit diantara pot-pot bunga itu dan siap-siap buat syuting sampai akhirnya seorang guru berjilbab dan berwajah garang seperti setan menegur.

"Ini ada apa ini? Ini dari mana?" kata guru itu. Pembuka kata-katanya aja nadanya udah garang banget.
"Kita dari UI, mau bikin video gitu," Abim yang jawab soalnya itu kan SD dia. "Kita udah ijin kok sama pak Ade."
"HAH? PAK ADE?" si Guru mulai membuat gue pengen meremas mukanya. "Ini bukan daerahnya pak Ade!" teriak dia seakan-akan Pak Ade adalah ketua geng atau semacamnya. "Daerahnya pak Ade di sana!" dia menunjuk bangunan di depannya. "Sana! Pergi sana! Jangan disini! Seenaknya aja!"

Buset... karena memang itu adalah lokasi yang gue sama sekali nggak tahu dan yang ngurus ijin adalah Abim, gue bener-bener takut saat itu. Jadi langsung males buat ngelanjutin syuting karena down duluan. Hahaha... gue selali kayak gitu entah kenapa. Kalau orang udah marah, gue bawaannya males aja. Akhirnya kita menyingkir dari daerah si guru galak dan kembali ke wilayah Pak Ade. Gue pun mencari-cari lagi lokasi yang kira-kira bagus untuk establish kedua dan atas bantuan Abim dan Necha gue menemukannya.

Well, setelah itu tinggal adegan di dalam kelas. Dan wow... ngeliat keadaan kelas anak-anak kelas 6 SD itu bikin gue inget lagi sama SD gue dulu. Tapi jelas keadaannya sangat jauh berbeda dengan SD lokasi syuting ini dan juga keadaannya sekarang.

Jaman gue SD dulu, nggak ada yang namanya keramik di lantai. Seluruh permukaan lantai ditutupi semen halus yang setiap hari Sabtu para guru dengan tidak bijaksana menyuruh kami anak-anak muridnya mengepel lantai itu dengan usam (parutan kelapa yang sudah diambil sarinya). Dulu sih gue ngerasa fine-fine aja disuruh ngepel gitu, cuma setelah sekarang gue pikirkan lagi, apa gunanya penjaga sekolah? Aish~ salah satu penindasan terhadap siswa. Selain itu, sekolah gue jaman dulu nggak ada jendela kacanya, yang ada kusen yang ditutupi pake kawat berbentuk ketupat yang BANYAK BANGET DEBUNYA! Buset... inget banget tuh gue bersin-bersin mulu. Terus nggak ada yang namanya white board melainkan papan tulis hitam yang digores pake kapur. Dan yang paling menyebalkan dari SD gue dulu adalah bahwa WC nya JELEK, BAU, NGGAK SEHAT, KOTOR, MENJIJIKKAN! Huff... Lengkap sudah...

Balik lagi ke syuting, ya, dan pemeran utama hari ini adalah Nadia, adik Abim. Mirip banget loh mereka berdua, hahaha :) Dan anak-anak SD temen Nadia yang spesial hari ini pake baju merah-putih sementara yang lain pake baju pramuka sangat membantu dan cepat sekali mengerti perintah kami. Syukurlah...

Cuma entah kenapa, setiap kali gue memasuki wilayah baru dimana disitu gue nggak kenal sama sekali dengan orang-orangnya, gue pasti merasakan kecanggungan yang berlebihan. Ketidakpercayaan diri yang over. Serius... bahkan buat bergerak dari satu tempat ke tempat lain aja rasanya malu banget. Gue dari dulu memang bermasalah sama yang satu ini dan berusaha buat menghilangkannya, tapi tetep aja masih suka canggung.

Kecanggungan lain adalah ketika ada di rumah Abim. Ini lucu banget buat gue sementara temen-temen gue yang lain (khususnya temen-temen cowok) kalau main ke rumah temen cowoknya, pastinya mereka akan bersikap sangat sangat sangat biasa dan menganggap itu seperti rumah mereka sendiri. Gue selalu ngeliat itu waktu ada Rio di rumah Aank. Dua orang ini adalah temen SMP dan SMA gue dan mereka bersahabat. Rio terlihat sangat biasa dengan Aank dan keluarganya, sementara gue yang notabenenya adalah orang yang mengenal Aank lebih dulu (dari TK) dan deket sama dia di SMP lebih awal dari Rio nggak bisa melakukan itu. Selalu saja ada perasaan canggung yang berlebihan kalau gue tempat Aank. Dan begitu juga ketika tadi waktu ke rumah Abim. Entah apakah karena gue memang lebih suka menyendiri atau karena gue sakit jiwa, nggak tahu deh. Bahkan, gue inget, ke kosan Ryan pun gue malu karena gue nggak pede ketemu sama temen-temennya. Dan (tarik napas) gue mengakui kalau gue gila. Ya, gue nggak normal dengan hal ini.

Nggak cuma sama temen-temen yang sudah gue kenal aja, tapi tentu aja kecanggungan akan lebih besar ketika gue berada di antara orang-orang yang memerhatikan gue dan gue nggak kenal semuanya. Waktu itu gue jadi MC di acara perpisahan sekolah dan WOW itu semua senior dan gue bener-bener ZONK! Hahaha... lucu juga, cuma sejak acara itu gue jadi lebih percaya diri buat ngomong di depan orang banyak, saat itu, cuma sekarang kayaknya perlu di latih lagi deh.

Kecanggungan yang paling parah bahkan dengan bokap gue sendiri. Gue nggak tahu kenapa kalau yang satu ini karena kedengarannya berlebihan, bukan? Mungkin karena gue jarang kali ya menghabiskan waktu sama bokap, jadi kalau ada di rumah rasanya kok ada yang beda? Justru gue lebih nyaman kalau dia nggak ada di rumah. Iih... nyeremin deh. Dan sekarang bener-bener dia ngilang dan nggak tahu dimana. Bokap gue bukan orang yang perhatian sama gue, terus terang aja, dia adalah tipe orang yang lebih suka menghabiskan waktu di luar bersama orang-orang sebayanya dari pada anak-anaknya. Gue sesalkan sih, karena sejak dulu gue bermimpi hidup seperti yang ada di film-film, dimana ayah akan selalu ada untuk anaknya ketika anaknya butuh dia. Buat gue dulu ini bukan hal besar, karena mungkin dulu gue masih kecil kali ya? Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, ini adalah satu hal yang sangat patut disesalkan. Maksud gue, apakah gue bisa kembali lagi ke masa itu? Nggak kan... Dan kalaupun sekarang gue ingin merasakan hal yang ingin gue rasakan pada masa itu udah nggak bisa juga...

Mommy juga kadang-kadang bikin canggung, terutama kalau lagi ngomongin soal pacar dan juga sex. Gue rasa ini wajar buat semua orang karena nggak banyak cowok yang mau mendiskusikan soal pacar dan sex sama mamanya. Iya kan?

Dan yang paling bikin canggung adalah ketika kita berhadapan atau berada di tempat dimana ada orang yang kita suka. Wow... ini bener banget kalau buat gue. Bahkan kalaupun dia temen gue sendiri yang udah akrab banget, gue masih suka canggung kalau gue ngomong berdua sama dia. Hahaha...

Seringkali rasa canggung itu muncul ketika kita berpikiran bahwa semua orang melihat dan memerhatikan kita. Seperti gue misalnya, ketika gue baru saja memotong rambut dengan gaya baru, atau kemarin gue baru aja ganti kaca mata, kemudian gue harus beraktifitas seperti biasa, pasti gue ngerasa (dengan penuh kerendahan hati dan kejijikan yang berlimpah) kalau orang-orang pada merhatiin gue. Ngeliat model rambut gue, menertawakan kaca mata gue. Hal biadab ini yang bikin rasa percaya diri gue jadi hilang. Akibatnya adalah gue akan segera mengembalikan model rambut gue seperti semula atau sebisa mungkin membuat semuanya kembali normal. Padahal pada kenyataannya, TIDAK ADA YANG MEMERHATIKAN!

Gue akhirnya sadar, bahwa nggak semua orang akan peduli bagaimana kita hidup, bagaimana kita berpakaian, apa yang kita lakukan, masalah apa yang sedang kita hadapi atau apapun tentang kita. Nggak semua orang mau tahu dan nggak semua orang mau mendengarkan. Gue merasakan itu berkali-kali dan itu jadi cambuk buat gue untuk melakukan apapun yang gue suka karena nggak akan ada yang peduli.

Jumat kemarin, gue sedang duduk di gedung PAU FISIP bersama dengan beberapa teman dan salah satu temen gue yang namanya Tora bilang, "Gue nggak pernah, sampai sekarang, punya yang namanya SAHABAT." Gue sedang pake headset saat itu tapi gue bisa mendengarnya. Dan dalam hati gue mengangguk, setuju... Tora bener banget...

Teman, gue punya banyak. Tapi sahabat seperti Hero, Ron, Hermione, DongHae, Harry, Daniel dan teman-teman khayalan gue yang lain susah didapatkan.

Tunggu... mereka ada, ya... setidaknya meraka ada di khayalan gue.

Harry Potter and the Deathly Hallows (tiga sahabat khayalan gue sejak kecil)

Share:

0 komentar